BUNCIT ....
Orang mendengar kata “buncit”, saya yakin imajinasi dan
persfektifnya akan berbeda-beda. Mungkin ada orang yang mendengar kata buncit,
pikirannya terbayang dengan supir, ada orang yang pikirannya terbayang dengan
pasca nikah, ada orang yang pikirannya terbayang dengan olah raga, ada orang
yang pikirannya terbayang dengan makanan dan lain-lain. Begitulah liarnya
pemikiran manusia, sehingga zina saja sekarang ini sudah dianggap baik dan sah
dilakukan di Negara Barat, betapa rusaknya peradaban di Barat sekarang ini. Maka
untuk mengontrol itu semua, akal dan pikiran kita harus tunduk dan berserah
diri kepada Allah, dan inilah makna Islam; yaitu tunduk, patuh dan berserah
diri kepada Allah subahanahu wata’ala.
Saya sendiri, baru-baru ini melihat tulisan “buncit”, saya teringat dengan LIPIA Jakarta.
LIPIA Jakarta ada di Jalan Buncit Raya Jakarta Selatan. Pada tahun 2012,
bulan Juni saya putuskan untuk pindah kuliah dari Imam Bonjol Padang dan
seleksi masuk LIPIA Jakarta. Setelah melalui proses pendaftaran, pada bulan
Agustus saya berangkat ke Jakarta untuk seleksi. sebelum berangkat waktu itu,
saya pamitan dengan orang-orang disekitar saya di Padang, termasuk tempat
dimana saya bekerja. Waktu itu saya ditanya “kalau kamu tidak lulus bagaimana,
apakah kamu balik lagi kesini?” Saya jawab dengan tegas waktu itu “saya
berharap lulus dan tidak kembali lagi kesini Ustadz”.
Setelah jadwal pengumuman tiba, saya berangkat ke
kampus untuk melihat hasil tes, ternyata saya tidak lulus. Saya masih tidak
percaya waktu itu kalau saya tidak lulus, keesokan harinya saya berangkat lagi ke kampus untuk melihat hasil tes
tersebut, ternyata memang benar saya tidak lulus.
Setelah itu, mulailah saya merasa cemas, takut dan pusing. Kalau kembali lagi ke Padang, apa yang akan saya lakukan supaya saya bisa kuliah lagi? Dimana lagi saya akan tinggal? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai menyerang pikiran saya hingga saya pusing. Beberapa hari setelah pengumuman ketidak lulusan di LIPIA, saya kehilangan dompet saya beserta surat-surat dan sisa uang yang ada di dalamnya. Maka bertambahlah was-was dan ketakutan saya. Setelah malam tiba, tiba-tiba saya ditelpon “Saleh gimana tesmu lulus?” Ibu Anis menelpon saya dari Padang. “hehe, tidak lulus Bu” saya menjawab. “Baik lah, balik lagi ke Padang, tinggal di Masjid dekat rumah Ibu”, Ibu anis menawarkan ke saya. Saya mendengar itu senang sekali; seperti obat yang menyembuhkan setengah dari badan saya. Akhirnya berkat kebesaran Allah dan kebesaran hati hamba-hambaNya, saya ada ongkos pulang ke Padang dan sedikit uang pegangan.
Saya balik lagi ke Padang, dan alhamdulillah saya
masih bisa melanjutkan kuliah saya di Imam Bonjol Padang setelah setahun saya
kuliah sebelumnya. Saya tinggal di Masjid di dekat Rumah Bu Anis dan bekerja
disitu, setelah _+ 8 bulan, saya akhirnya pindah hingga kuliah saya selesai
pada tahun 2015. Saya akhirnya menyadari bahwa; saya harus menyalahkan diri
saya, kenapa saya tidak banyak belajar, kenapa saya tidak sungguh-sungguh
belajar sebelumnya sehingga saya gagal masuk ke LIPIA Jakarta. Buncit ... buncit
...
Menurut saya, kita memang harus begitu; menyalahkan
diri sendiri, mengakui kelebihan orang lain, agar kita lebih banyak dan giat
belajar. Ketika banyak diantara orang-orang untuk menutupi kegugupannya, untuk
menutupi ketakutannya, untuk tidak mengatakan “yaa saya salah, saya perbaiki”,
untuk mengakui bahwa “saya masih banyak kekurangan”, untuk mengakui bahwa “anda
lebih baik dari saya”, banyak diantara orang-orang fokus menyalahkan orang
lain, menyalahkan tindakan orang lain; bisa saja itu pernah kita, saya, anda
lakukan. Namun saya mengamati, saya memikirkan, saya melakukan; untuk menutupi
itu semua tidak perlu menyalahkan orang lain.
Kita, saya, anda perlu membuat cara dan pola yang
baru; saya harus menyalahkan diri sendiri untuk bangkit, saya mengakui
kelebihan orang lain untuk belajar, saya tidak perlu gugup untuk lebih kuat.
Kita perlu melakukan dan menggunakan cara-cara yang berbeda untuk lebih baik.
Karena kita, anda, saya berhak lebih baik.
Bagaimana mungkin kita, anda, saya berani sering,
banyak dan terbiasa menyalahkan orang lain, sementara manusia itu pasti berbuat
salah “qullu bani adam khattaq” dan melupakan dan tidak melihat kesalahan diri
sendiri. Umar bin Khattab mengatakan “hasibu anfusakum qobla an tuhasabu”.
Perkatan Umar bin Khattab ini menggambarkan prioritas bagi kita; yaitu
memprioritaskan untuk melihat diri dulu yang lebih utama. Mulai sekarang; saya
harus menyalahkan diri sendiri untuk bangkit, saya mengakui kelebihan orang
lain untuk belajar, saya tidak perlu gugup untuk lebih kuat dan akhirnya saya
tahu bahwa, inilah diantara bagian dari konteks ikhlas. Begitulah pikiran itu membawa kita,
hanya berawal dari kata “buncit” .
Komentar
Posting Komentar