Hari Sabtu ketika masih Aliyah
Hari Sabtu tanggal 16 Januari 2010, hari itu masih kelas XI Aliyah Muhammadiyah di Kotanopan. Kami, yang sekolah di Kotanopan dari Hutagodang dan sekitarnya, setiap hari Sabtu, biasanya kami pulang ke kampung untuk membantu orang tua ke ladang dan sawah pada hari minggunya. Selain ke ladang dan sawah, juga sekalian untuk menjemput perbekalan di kontarakan untuk seminggu berikutnya.
Hari itu kami pulang sekolah jam 12 siang, begitu juga dengan tetangga sekolah, pulang dengan serentak. Kalau hari Sabtu, kami dan teman-teman sesama pelajar di Kotanopan, sering berjalan kaki dari Aek Kapesong (komplek sekolah), hingga Pasar Kotanopan (terminal untuk semua jurusan). Berjalan kaki ditepi jalan raya dengan jarak sekitar 1 km, dengan ribuan siswa adalah pemandangan yang sangat inspiratif, karena itulah kami sangat enjoy berjalan kaki di hari Sabtu itu.
Setelah sampai di Pasar Kotanopan, saya dan teman-teman akan jalan-jalan di pasar, di komplek penjual baju, sayur, sepatu, ikan asin hingga penjual makan-makanan. Walaupun tidak ada niat sedikitpun untuk berbelanja karena hanya tersisa uang untuk ongkos pulang, kami tetap percaya diri berjalan-jalan di pasar.
Ketika ketemu teman sesama pelajar ataupun sesama anak kost yang tinggal di sekitaran Aek Kapesong akan bertegur sapa dan terkesan “sok akrab”, maklumlah...!, waktu itu masih masa-masa remaja yang punya sejuta cara untuk tampil terkesan luas pergaulan, walaupun sebenarnya tidak sama sekali. Setelah dekat waktunya untuk berangkat pulang, kami bersegara ke pelataran bioskop untuk naik ke angkutan yang akan segera berangkat ke kampung.
Biasanya kami selalu pulang bersama satu mobil. Satu mobil itu biasanya penuh dengan para pelajar. Siswa laki-laki tidak ada yang mau duduk di bangku, pasti naik ke atap angkot dan sebagian berdiri bergelantungan di jendela-jendelanya, dan yang duduk di bangku angkot adalah teman-teman perempuan. Walaupun kondisi berhimpit-himpitan dan padat di atas angkot, kami tetap merasa senang. Sering sekali teman-teman bergurau di atap mobil, kadang ada juga yang membahas masalah yang serius, ada juga yang sekedar mengajak main bola setelah sampai di kampung. “Marbal dita naron”...! inilah seruan teman-teman mengajak main bola setelah sampai di kampung nantinya. Habis ashar hingga magrib, kami akan bermain bola di lapangan Paya Bulan Hutagodang.
Walaupun pulang ke kampung dengan berhimpit-himpitan di atap angkot itu, dan banyak yang berdiri di jendela-jendalnya, dilanjutkan dengan bermain bola sesampainya, kami sama sekali tidak menghiraukan rasa capek. Itulah masa dimana kita masih muda; bersemangat dan tak mengenal lelah.
Kata Tan Malaka: Semangat dan Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.
Komentar
Posting Komentar