MALIM KARIMUN LUBIS
Orang mengenal namanya adalah Malim Karimun
Lubis, anak dan cucunya juga mengenal namanya adalah Malim Karimun Lubis.
Walaupun ada cucunya tidak pernah melihat wajahnya, namun mereka kenal nama dan
bisa membayangkan keteduhan di wajahnya ketika mendengar nama itu. Tetapi
banyak mereka yang tidak mengetahui bahwa nama kecil Malim Karimun Lubis yang
sebenarnya adalah Lembang Lubis.
Lembang Lubis mempunyai 3 saudara laki-laki, yaitu:
1. Ayahnya
mendiang Kadir Lubis (kakeknya Efrida Lubis): Padang Sidimpuan
2. Kakeknya Iwan
Lubis: Padang Sidimpuan
3. Ayahnya mendiang Jailani Lubis: Aceh (keluarganya
Jailani Lubis tidak ada generasi nya yang dikenal sekarang karena musibah
Tsunami 2004 di Aceh)
Adapaun saudarai perempuannya ada 3 yaitu;
1. Mendiang
neneknya Munawir Lubis dari Ibu
2. Mendiang
Neneknya Alwi Nasution dari Bapak
3. Dan yang ketiga
adalah mendiang neneknya Acan dari Ibu.
Inilah saudara-saudara dari Lembang Lubis
yang pada akhirnya kami mengenal nama beliau Malim Karimun Lubis. Ayah dari
Lembang Lubis adalah seorang kepala ripe (salah satu badan pertimbangan Raja
ketika musyawarah) di Kerajaan Hutagodang, ketika kerajaan ini dipimpin oleh
ayah Raja Junjungan Lubis (Gubernur Sumatra Utara pada tahun 1963). Karena
jabatan sebagai kepala ripe yang diemban ayahnya, akhirnya rumah mereka diberi
hadiah oleh raja seperti rumah adat raja “bagas godang”, tepatnya di depan
kantor camat Ulupungkut di Hutagodang yang pada akhirnya “lapuk” tidak
berbekas, dan tanah pertapakan rumah itu akhirnya dijual dibeli dan pindah
tangan kepemilikannya.
Lembang Lubis tumbuh di dalam keluarga miskin
dan sederhana, walaupun ayahnya sebagai kepala ripe namun tidak membuat ayahnya
menjadi “kepala rupee”. Ketiga saudara laki-lakinya akhirnya merantau, 2 ke
Padang Sidimpuan dan 1 ke Aceh, sedangkan saudari perempuannya 1 menikah dan
akhirnya tinggal di Muara Pungkut, dan 2 lagi tinggal bersamanya di Hutagodang.
Lembang Lubis tinggal di rumah adat
peninggalan orang tuanya di Desa Hutagodang. Di Desa inilah Lembang Lubis
bertani untuk menghidupi keluarganya. Beliau berkebun dan menggarap sawah,
kebun itu terletak di Tor Batu Loting (dari Sampuran Hutagodang arah ke
Sinabuan terus ke Timur, bekas kebun ini masih ada disana). Sedangkan sawahnya
berada di selatan (julu) Desa Alahankae yang akhirnya dijual dikemudian hari
oleh anaknya kepada orang desa Alahankae.
Ketika berkebun di Tor Batu Loting, Lembang
Lubis sering “moncot” di kebun tersebut, walaupun jaraknya sangat jauh dari
Desa Hutagodang dan terkenal banyak binatang buasnya, beliau tidak ada rasa
khawatir dan takut. Lembang Lubis biasanya ditemani Al-Qur’an ketika “moncot”,
temannya inilah yang memberi dia kekuatan dan keberanian.
Ketika magrib tiba dan hari sudah mau gelap,
dia menghidupkan colok di samping kiri pintu gubuk kecil bertangga itu.
Kemudian dia pergi ke tepian “aek sinabuan”. Beliau mengambil wuduk dan berdiri
di atas batu dengan tegap, kemudian menutup telinganya dan berteriak dengan
keras mengucapkan “Allaahu Akbar”. Beliau mengumandangkan azan di tengah
hutan belantara yang gelap itu.
Setelah selesai azan, dia iqomah dan
mendirikan shalat dengan suara nyaring layaknya seperti Imam yang mengimami
makmum yang banyak. Ketika salam ke kanan, dia melihat jamaahnya ternyata
lumayan banyak. Mungkin itu adalah orang Desa yang juga “moncot” di daerah Tor
Batu Loting. Tetapi ketika salam ke kiri, dia tidak melihat lagi jamaahnya.
Setelah itu dia menyadari bahwa jamaahnya itu
adalah para Jin Desa Tor Batu Loting. Namun Lembang Lubis tidak merasa
ketakutan yang berlebihan. Setelah selesai magrib dia pulang ke “sopo”nya.
Ketika hendak pulang ke kampung dari “moncot” di kebunnya, dia pulang dengan
kepala menunduk untuk menyeimbangkan badannya karena beban yang ada
dipundaknya.
Ketika di tengah perjalanan, dia mendengar
suara “repees, repeess”. Dia menyangka suara itu adalah suara kayu yang
meluncur dari atas. Kemudian dia berhenti, ternyata itu bukan suara kayu yang
meluncur, tetapi suara itu adalah suara “babiat” yang sedang lewat dan berhenti
seketika dan menatapnya dengan tajam. Harimau itu memperlihatkan taring yang
panjang dan tajam, beserta suara yang mengaum hendak memangsa.
Lembang Lubis menurunkan beban hasil kebun
yang ada di pundaknya, kemudian menatap mata Harimau Sumatra itu. Mereka berdua
saling bertatapan, satu ingin memangsa dan satu lagi mengisyaratkan mata yang
damai namun tidak ada rasa takut. Akhirnya “babiat” itu memalingkan wajahnya
dan segera turun melintasi jalan.
Kesederhanaan dan ke tawadhu’an Lembang Lubis
membuatnya mempunyai hubungan baik dengan orang lain. Kesederhanaan dan
kerendahan jiwa juga yang membuatnya bisa mendidik anak dan putrinya dengan
baik. Mendidiknya dengan nilai-nilai luhur. Saya masih sering diingatkan oleh
Ibu waktu kecil “habiskon indahan mi, ulang martoda-toda bope sada indahan,
tangis tongkinnai indahan i”. Begitulah cara orang dahulu mengajarkan anaknya
supaya tidak berlebih-lebihan dan berbuat mubazzir.
Sampai sekarang nasehat ini masih saya ingat
dan makan tanpa menyisakan makanan. Nilai- nilai luhur seperti ini juga lah
yang diajarakan Lembang Lubis kepada Ibu saya dan saudara-saudaranya.
Saya sebagai anak ke-8 dari 10 bersaudara,
tidak mengenal beliau. Saya hanya mengenal nenek dari ayah yang meninggal
ketika saya berumur 3 tahun. Ketika saya bertanya-tanya, seperti apa karakter
kakek kami Lembang Lubis itu? Ibu menyatakan; beliau itu mirip seperti Tulangmu
mendiang Syuhron Lubis; sabar, bijak, santun, rendah hati, damai, dan tentunya
beliau “alim” sehingga diberi “golar raja” “Malim Karimun Lubis”.
Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar