SOEKARNO, TENTARA PRRI DAN RAKYAT HUTAGODANG

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan bentuk gerakan perlawanan kepada PKI (sebenarnya) yang terjadi di di Sumatra Barat dan Sumatra Utara pada tahun 1959. Pemberontakan ini terjadi karena beberapa sebab dan tuntutan kepada Presiden Soekarno pada masa itu, yaitu penyerataan pembangunan dan perluasan otonomi.

Namun di kalangan rakyat bawah, pemberontakan ini juga karena kedekatan Soekarno dengan Komunis. Yang dipengaruhi ideologi NASAKOM (singkatan dari NASionalisme, Agamis (NU) KOMunisme), kalangan agamis menjadi resah,  terutama di Sumatra Barat hingga ke Tapanuli Selatan. Di Padang, pemberontakan ini dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein, sedangkan Maluddin Simbolon memimpin gerakan di Sumatra Utara.

Kedekatan Soekarno dengan komunisme itu menjadi alasan para pemuka agama dan para pemuda di Hutagodang kec Ulupungkut bergabung dengan PRRI. Pada tanggal 15 Februari 1958 Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang. Pemerintah tersebut membuat Kabinet dengan Syarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya.

Para pemuda yang telah bergabung dengan PRRI ini di antaranya adalah Hamzah Daulay. Sebagai seorang pemuda, Hamzah termotivasi untuk ikut memberontak kepada Soekarno dan PKI.  Baginya PRRI ini hanyalah perlawanan terhadap komunisme. Dalam pergerakannya, Hamzah Daulay mengikuti latihan grilya dari pedalaman Sumatra Utara hingga Sumatra Barat, melewati hutan belantara.

Pada tahun 2008, penulis bertemu dengan salah seorang saksi sejarah dan juga menjadi tentara PRRI pada tahun 1959 bersama Hamzah Daulay yaitu Pak Rosyid: (nama ini lah yang teringat dalam benak penulis). Beliau menjadi Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara pada saat sebelum penulis bertemu dengan beliau setelah meninggalkan PRRI. Beliau menuturkan perjalan mereka bergrilya dari Hutagodang, Simpang Banyak, Pakantan hingga Sumatra Barat. Untuk mencukupi bekal grilya mereka, para tentara PRRI ini selalu membekali perjalanan mereka dengan beras, kain basahan dan korek api. Untuk menanak beras dalam perang grilya, tentara PRRI ini membungkus beras yang telah dicuci  di dalam balutan kain basahan. Beras yang dibalut kain basahan ini kemudian dimasukkan ke dalam lobang yang dibuat di tanah. Kemudian menyalakan api di atas lobang tanah itu, supaya beras yang ada di dalam balutan kain basahan tersebut bisa dimakan.

Mengetahui tentara PRRI semakin kuat dan bisa membahayakan Pemerintahan Soekarno. Soekarno mengirim tentara untuk memburu tentara PRRI ini. Tentara yang dikirm soekarno ini, masuk ke desa Hutagodang, Kec Ulupungkut Kabupaten Mandailing Natal. Di Hutagodang tentara ini disebut dengan “tentara pusat”. “Tentara pusat” ini lantas menjalankan operasinya di Hutagodang. Mereka mengintrogasi masyarakat untuk mencari informasi dimana tentara PRRI ini bersembunyi.

Termasuk menangkap Imam Masjid Raya Nurul Iman Hutagodang Malim Pareso Lubis Rahimahullah, untuk dimintai keterangan. Karena tidak ada informasi yang di dapat, dan tidak ada keterlibatan Malim Pareso Lubis Rahimahullah dalam pemberontakan ini, akhirnya beliau dibebaskan.

Kondisi di Hutagodang waktu itu semakin mencekam. Masyarakat tahu, seandainya para tentara PRRI ini tidak menyerah dan tertangkap oleh “tentara pusat”, mereka akan di eksekusi mati. Mendengar ultimatum eksekusi mati dari “tentara pusat” kepada tentara PRRI yang tidak menyerah, membuat Imron Daulay (Abang dari Hamzah Daulay) mencari mereka ke tengah hutan.

Setelah beberapa hari mencari adiknya di hutan, akhirnya Imron bertemu dengan Hamzah dan dua temannya di persembunyian mereka. Imron sebagi saudara tua dari Hamzah membujuk adeknya untuk menyerahkan diri dan segera pulang ke Hutagoddang, karena pimpinan PRRI Kolonel Ahmad Husein juga akan mengundurkan diri di Sumatra Barat, begitu juga dengan Kolonel Maluddin Simbolon. Namun Hamzah enggan menyerahkan diri. Pada akhirnya, Imron mengikuti perjalanan adeknya bergrilya.

Setelah beberapa waktu, “tentara pusat” menangkap meraka di tengah hutan. Pada waktu perjalan pulang dari tengah hutan ke Hutagodang, “tentara pusat” selalu menodongkan senjata laras panjang kepada Imron, Hamzah dan dua orang tentara PRRI yang lain. Namun, salah seorang teman mereka (namanya tidak diketahui penulis)  melarikan diri. Dia melompat dari jalanan setapak di atas tebing punggung gunung ke bawah. Para Tentara Pusat menembakinya dengan senjata mirip AK 47 itu, namun dia berhasil meloloskon diri. Sesampainya di desa Hutagodang, tentara PRRI ini di tahan di rumah sebelah kanan Kantor Camat sekarang.

Ketika masa tahanan inilah, Imron, Hamzah dan satu lagi tentara PRRI yang lain menceritakan pengalaman mereka kepada masyarakat terutama keluarga. Setelah seminggu mereka ditahan, Imron, Hamzah dan satu lagi tentara PRRI (yang penulis tidak mengetahui namanya) di bawa ke Desa Simpang Pining untuk di eksekusi. Hingga saat ini, makam ketiga tentara PRRI ini di Simpang Pining menjadi saksi sejarah PRRI di Hutagodang.

 

Referensi Buku Bacaan yang Bisa di Rujuk

Wawancara:


2. Pak Rosyid tahun 2008: Dosen UMSU dan Mantan Tentara PRRI

3. Prof. Dr. Syafruddin, M.Pd. : Mantan Dekan FITK UIN Imam Bonjol Padang
4.  Tokoh Masyarakat Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra Barat.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini