SOEKARNO,
TENTARA PRRI DAN RAKYAT HUTAGODANG
Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia, (biasa disingkat dengan PRRI)
merupakan bentuk gerakan perlawanan kepada PKI (sebenarnya) yang
terjadi di di Sumatra Barat dan Sumatra Utara pada tahun 1959. Pemberontakan
ini terjadi karena beberapa sebab dan tuntutan kepada Presiden Soekarno pada
masa itu, yaitu penyerataan pembangunan dan perluasan otonomi.
Namun di kalangan rakyat bawah, pemberontakan ini juga karena
kedekatan Soekarno dengan Komunis. Yang dipengaruhi ideologi NASAKOM (singkatan
dari NASionalisme, Agamis (NU) KOMunisme), kalangan agamis menjadi resah,
terutama di Sumatra Barat hingga ke Tapanuli Selatan. Di Padang, pemberontakan
ini dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein, sedangkan Maluddin Simbolon memimpin
gerakan di Sumatra Utara.
Kedekatan Soekarno dengan komunisme itu
menjadi alasan para pemuka agama dan para pemuda di Hutagodang kec Ulupungkut
bergabung dengan PRRI.
Para pemuda yang telah bergabung dengan PRRI ini di antaranya adalah Hamzah Daulay. Sebagai
seorang pemuda, Hamzah termotivasi untuk ikut memberontak kepada Soekarno dan PKI.
Baginya PRRI ini hanyalah
perlawanan terhadap komunisme. Dalam pergerakannya, Hamzah
Daulay mengikuti latihan grilya dari pedalaman Sumatra Utara hingga Sumatra
Barat, melewati hutan belantara.
Pada tahun 2008, penulis bertemu dengan salah
seorang saksi sejarah dan juga menjadi tentara PRRI pada tahun 1959 bersama
Hamzah Daulay yaitu Pak Rosyid: (nama ini lah yang teringat dalam benak penulis).
Beliau menjadi Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara pada saat sebelum
penulis bertemu dengan beliau setelah meninggalkan PRRI. Beliau menuturkan
perjalan mereka bergrilya dari Hutagodang, Simpang Banyak, Pakantan hingga
Sumatra Barat. Untuk mencukupi bekal grilya mereka, para tentara PRRI ini
selalu membekali perjalanan mereka dengan beras, kain basahan dan korek api.
Untuk menanak beras dalam perang grilya, tentara PRRI ini membungkus beras yang
telah dicuci di dalam balutan kain basahan. Beras yang dibalut kain
basahan ini kemudian dimasukkan ke dalam lobang yang dibuat di tanah. Kemudian
menyalakan api di atas lobang tanah itu, supaya beras yang ada di dalam balutan
kain basahan tersebut bisa dimakan.
Mengetahui tentara PRRI semakin kuat dan bisa membahayakan
Pemerintahan Soekarno. Soekarno mengirim tentara untuk memburu tentara PRRI ini.
Tentara yang dikirm soekarno ini, masuk ke desa Hutagodang, Kec Ulupungkut
Kabupaten Mandailing Natal. Di Hutagodang tentara ini disebut dengan “tentara
pusat”. “Tentara pusat” ini lantas menjalankan operasinya di Hutagodang. Mereka
mengintrogasi masyarakat untuk mencari informasi dimana tentara PRRI ini
bersembunyi.
Termasuk menangkap Imam Masjid Raya Nurul Iman
Hutagodang Malim Pareso Lubis Rahimahullah, untuk dimintai keterangan. Karena
tidak ada informasi yang di dapat, dan tidak ada keterlibatan Malim Pareso
Lubis Rahimahullah dalam pemberontakan ini, akhirnya beliau dibebaskan.
Kondisi di Hutagodang waktu itu semakin mencekam.
Masyarakat tahu, seandainya para tentara PRRI ini tidak menyerah dan tertangkap
oleh “tentara pusat”, mereka akan di eksekusi mati. Mendengar ultimatum
eksekusi mati dari “tentara pusat” kepada tentara PRRI yang tidak menyerah,
membuat Imron Daulay (Abang dari Hamzah Daulay) mencari mereka ke tengah hutan.
Setelah beberapa hari mencari adiknya di hutan,
akhirnya Imron bertemu dengan Hamzah dan dua temannya di persembunyian mereka.
Imron sebagi saudara tua dari
Hamzah membujuk adeknya untuk menyerahkan diri dan segera pulang ke
Hutagoddang, karena pimpinan PRRI Kolonel Ahmad Husein juga akan mengundurkan
diri di Sumatra Barat, begitu juga dengan Kolonel Maluddin Simbolon. Namun
Hamzah enggan menyerahkan diri. Pada akhirnya, Imron mengikuti perjalanan
adeknya bergrilya.
Setelah beberapa waktu, “tentara pusat” menangkap
meraka di tengah hutan. Pada waktu perjalan pulang dari tengah hutan ke
Hutagodang, “tentara pusat” selalu menodongkan senjata laras panjang kepada
Imron, Hamzah dan dua orang tentara PRRI yang lain. Namun, salah seorang teman
mereka (namanya tidak diketahui penulis) melarikan diri. Dia melompat
dari jalanan setapak di atas tebing punggung gunung ke bawah. Para Tentara
Pusat menembakinya dengan senjata mirip AK 47 itu, namun dia berhasil
meloloskon diri. Sesampainya di desa Hutagodang, tentara PRRI ini di tahan di
rumah sebelah kanan Kantor Camat sekarang.
Ketika masa tahanan inilah, Imron, Hamzah dan
satu lagi tentara PRRI yang lain menceritakan pengalaman mereka kepada
masyarakat terutama keluarga. Setelah seminggu mereka ditahan, Imron, Hamzah dan
satu lagi tentara PRRI (yang penulis tidak mengetahui namanya) di bawa ke Desa
Simpang Pining untuk di eksekusi. Hingga saat ini, makam ketiga tentara PRRI
ini di Simpang Pining menjadi saksi sejarah PRRI di Hutagodang.
Referensi Buku Bacaan yang Bisa di Rujuk
Wawancara:
2. Pak Rosyid tahun 2008: Dosen UMSU dan Mantan Tentara
PRRI
3. Prof. Dr. Syafruddin, M.Pd. : Mantan Dekan FITK UIN Imam Bonjol
Padang
4. Tokoh Masyarakat Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra
Barat.
Komentar
Posting Komentar