MENGANALISA PERAN MASJID DALAM PEMBERDAYAAN UMMAT DI MADINA

            Masa ini ada dua problem besar yang dihadapi oleh Ummat Islam Indonesia, termasuk di Madina. Kedua-duanya sudah diperbincangkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan banyak tokoh. Problem itu adalah degradasi akhlak dan ketertinggalan ekonomi. 

Degradasi akhlaq ummat islam yang terjadi saat ini, termasuk di Madina sudah sangat menghawatirkan. Degradasi ini meliputi akhlak terhadap diri sendiri dan juga akhlak terhadap orang lain. Degradasi akhlak terhadap diri sendiri adalah prilaku yang merusak diri sendiri, seperti memakai ganja dan narkoba. Madina adalah penghasil ganja terbesar dan No. 2 Se-Indonesia setelah Aceh (sumber BNN). Wajar saja kalau peredaran ganja di Madina sudah menjadi rahasia umum.

“Potensi” sebagai penghasil ganja terbesar ke-2 di Indonesia, menjadikan Madina sebagai sarang ganja dan persebaran ganja. Hal ini menjadi salah satu penyebab terbesar degradasi akhlak masyarakat. Kondisi ini menjadi tantangan bagi seluruh masyarakat.

Pemakaian narkoba jenis sabu juga marak terjadi. Bukan hanya pemakai, banyak orang Madina sudah menjadi pengedar narkoba. Pada tanggal 27 agustus 2017, Polres Madina berhasil menangkap warga Sinunukan yang bernama Jimmy Simanjuntak. Jimmy adalah segelintir orang yang memakai dan pemasok sabu di Madina.

Adapun degradasi akhlak terhadap orang lain adalah hilangnya sopan santun dan penghargaan terhadap tokoh masyarakat, sikap yang angkuh, hilangnya rasa malu ketika berbuat amoral, maraknya “maksiat sepakat” (judi, miras, club malam, asusila). Semua ini adalah hanya segelintir degradasi akhlak yang terjadi di Madina Sumatra Utara.

Adapun problem yang kedua, yang dihadapi Ummat Islam Indonesia secara umum dan di Madina secara khusus adalah masalah ekonomi. Insan Mokoginto, seorang pakar kristologi menyatakan bahwa, Ummat Islam yang lebih rendah ekonominya lebih mudah dimurtadkan. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi bahwa kefakiran lebih mendekatkan seseorang kepada kekafiran. Masalah ekonomi ini harus sama-sama kita perhatikan terkhusus di wilayah Madina, demi menjaga masyarakat dari pendangkalan Aqidah hingga Murtad. Di kabupaten Madina sendiri Jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan dalam 2 tahun terakhir.

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara dalam website resminya melaporkan, jumlah penduduk miskin di Madina tahun 2017 sekitar 10.98 %. Jika jumlah penduduk Madina sekitar 403.894, maka sekitar 43 ribu penduduk Madina berada dalam keadaan miskin.

Pengalaman di Malang, kristenisasi di sana mengincar para peternak; seperti yang terjadi di desa Pait, Kecamatan Kesemben, Kabupaten Malang, sebuah desa di perbukitan yang berbatasan dengan Kabupaten Kediri. Kasus ini tergolong unik; Seorang Pendeta yang memiliki ternak sering meminjamkan sapi betina dan pejantan kepada warga yang mau ikut “sekolah minggu”. Ketika sapi tersebut beranak, maka anak sapi itu menjadi hak warga yang memeliharanya, berapapun jumlahnya. Melalui cara “sekolah minggu” ini lah dia mendekati warga, dan memurtadkan warga. Bukan tidak mungkin nantinya, di Madina ada program Buka kebun karet, setiap warga desa boleh ikut dalam kelompok tani tersebut dengan syarat harus ikut “pembekalan rohani setiap minggu”. Terus bagaimana peranan Masjid dalam mengatasi problem Ummat ini.?

Reformasi Fungsi Masjid

Selama ini, Masjid di Madina hanya digunakan sebagai sarana ubudiyah seperti shalat dan pengajian. Dahulu ketika masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan sahabatnya, masjid juga dijadikan sebagai tempat rapat, rapat pengembangan sumber daya manusia, diskusi membahasa pengembangan tanah wakaf, dan masih banyak yang lain. Sekarang hal itu bisa kita lakukan untuk membangun Madina yang lebih baik.

Pada kesempatan ini, saya baru bisa memberikan dua ide dalam pengembangan fungsi Masjid, yaitu penghimpunan dana untuk pengembangan usaha produktif, dan menjadikan masjid sebagai social central. Bagaimana maksud penghimpunan dana untuk  pengembangan usaha produktif dan menjadikan masjid sebagai social central? Sebelum saya sampaikan apa maksud dari keduanya, saya ingin menegaskan bahwa kunci dalam melaksanakan kedua fungsi baru ini adalah kepercayaan dan dedikasi masyarakat. 

Seperti yang kita sebutkan tadi di atas, bahwa selama ini masjid di Madina, kegiatannya masih seputar ubudiyah (shalat dan pengajian) dan pengumpulan infak yang dilakukan di masjid, peruntukannya masih untuk pembangunan fisik dan operasionalnya. Kedepan, masjid perlu mengumpulkan infak dan wakaf dari masyarakat untuk pengembangan usaha milik ummat, seperti mini market, rumah makan, SPBU, toko dan masih banyak yang lain.

Jika pengembangan usaha ini dilakukan secara kontinyu, maka masjid-masjid di Madina akan mempunyai saham dan aset yang terus berkembangan. Hasil dari pengembangan ini bisa dipergunakan untuk opreasional atau pengembangan usaha berkelanjutan. Dari pengembangan usaha ini, maka ummat akan mempunyai lapangan pekerjaan dan dana sehat tanpa riba, yang bisa diperuntukkan ke bidang yang lain, seperti: beasiswa pendidikan, sosial (bantuan kepada fakir miskin), pengobatan, dan masih banyak yang lain. 

Ditjen Bimas Islam-Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama Republik Indonesia, mencatat bahwa jumlah masjid di Madina ada 604 masjid. Jika 604 masjid ini membangun dan mengembangkan usaha produktif satu masjid dua badan usaha, maka ada 1208 badan usaha produktif yang dimiliki ummat islam di Madina.  Seandainya satu badan usaha memiliki 1 juta keuntungan perbulan minimal, maka ada 1.208.000.000 (satu milyar dua ratus delapan juta rupiah) dana masjid dan dana ummat yang bisa dikumpulkan. Dana hasil usaha ini bisa dipergunakan dan dibagikan kepada seluruh masyarakat, atau untuk pengembanagn usaha yang lain. Jika hal ini kita lakukan bersama, maka ummat islam di Madina tidak perlu khawatir akan ada penguasaan asing terhadap negerinya, Madina.

      Ide selanjutnya adalah social centralSocial central yang dimaksud adalah pemusatan kegiatan masyarakat di lingkungan Masjid. Degradasi akhlak yang terjadi di Madina tidak bisa terlepas dari kondisi lingkungan yang tidak kondusif bagi anak muda.

Kedepan, masjid perlu untuk mempunyai fasilitas-fasilitas yang mendukung kebutuhan anak muda, seperti lapangan untuk bermain futsal, badminton, bola volly, kegiatan pendidikan, diskuisi, pengajian dan masih banyak yang lain. Jika selama ini pusat kegiatan atau intraksi masyarakat setelah pulang atau mau pergi bekerja terjadi di “lopo” atau warung kopi, maka kita harus berpikir untuk menjadikan masjid sebagai pusat interaksi dan kegiatan masyarakat, seperti penyediaan sarana olah raga, atau tempat diskusi sambil ngopi dilingkungan masjid. Jika penyertaan warung di khawatirkan menggangu pendapatan warga, maka bisa pada usaha lain.

Penempatan sarana dan fasilitas yang berada di lingkuangan masjid harus disertai dengan komitmen masyarakat untuk menghentikan semua kegiatan jika azan berkumandang. Maka dengan situasi seperti ini, kehidupan masyarakat akan dekat dengan suasana shalat dan jauh dari maksiat, karena shalat itu mencegah perbuatan maksiat. 

    Melihat pola perkembangan politik, sosial dan gejolak di pemerintahan saat ini, saya berpendapat bahwa masyakarat Madina perlu menyatukan “irama” dalam mengahadapi semua ini, termasuk arus globalisasi yang semakin kencang. Menyamakan “irama” masyarakat Madina menurut saya lebih tepat melalui masjid-masjid, seandainya 604 Masjid dan setiap masjid mengasuh 100 orang dari masyarakat. Maka mayoritas masyarakat Madina akan Se Iya dan Se Kata.

            Sehingga persatuan ummat di Madina terwujud melalui masjid, saya yakin dengan persatuan ummat di Madina yang dimulai dari masjid-masjid akan memberikan berkah yang luar biasa bagi masyarakat. Sehingga semboyan MADINA YANG BERADAT DAN TAAT BERIBADAT akan lebih mudah terwujud. Semogaa Allah subahanahu wata’ala memberikan kita kekuatan yang sebesar-besarnya dalam menyongsong hidup ini.

 

 

 

 





Komentar

Postingan populer dari blog ini