KEBANGSAAN DAN KEADILAN
Ribuan mahasiswa dan dosen Universitas Yale
di Connecticut, Amerika Serikat, "demo" memprotes iklim kampus yang
dirasa makin hari semakin rasis (the racially charged climate on campus),
demikian laporan surat kabar New York Times baru-baru ini (16/11/2015). Mereka
menuntut perlakuan yang lebih adil terhadap semua warga kampus yang bukan kulit
putih. Perguruan tinggi itu diminta bersikap lebih terbuka kepada orang dari
semua bangsa, baik itu keturunan Anglo-Saxon, Hispanik, AfroAmerika, Semit
(Yahudi dan Arab), maupun Asia (keturunan Jepang, Vietnam, Tionghoa, India dan
sebagainya).
Sementara koran Francis Le Monde
(10/11/2015) merekam perdebatan intelektual yang meratapi ketiadaan faktor
pemersatu dan penyeimbang berbagai kecenderungan nasionalisme saat ini (de
réunir tout le continent et de contrebalancer les inclinaisons nationalistes de
l'époque). Ini karena arus imigran yang membanjiri Eropa, Amerika dan
Australia memunculkan persoalan besar antara integrasi dan isolasi, antara
pluralisme dan rasisme. Tampak semakin kabur batasan antara rasa kebangsaan dan
perbedaan keturunan.
Sejak lama para ilmuwan menganggap ras
sebagai fakta biologis. Konon, ras manusia terdiri dari tiga induk: kaukasoid,
negroid, dan mongoloid. Masing-masing dikatakan berasal dari kawasan di mana
mereka dulunya tinggal, yaitu pegunungan Kaukasus di selatan Russia, wilayah
Nigeria di Afrika, dan daerah Mongolia di Asia. Tipologi ini senada dengan
legenda Israiliyat yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa di dunia adalah
keturunan dari tiga anak Nabi Nuh: Sam (nenek-moyang ras Timur Tengah), Ham
(nenek-moyang ras Afrika) dan Yafits (nenek-moyang ras Eropa).
Namun, mengatakan bahwa ras adalah fakta
biologis sebenarnya membawa konsekuensi politik yang saling bertentangan.
Tipologi di atas secara tidak langsung menganggap bangsa-bangsa selain kulit
putih, kulit hitam, dan kulit kuning sebagai bukan manusia. Sebab, kalau
orang-orang berkulit kemerahan dan sawo matang juga dianggap manusia, maka
tindakan menindas, memperbudak, dan menghabisi mereka (seperti yang dilakukan
terhadap penduduk asli benua Amerika dan Australia) adalah sangat biadab dan
tidak bisa dibenarkan sama sekali.
Di sisi lain, kalau perbedaan ras memang
karena faktor keturunan, maka orang dapat mengklaim bahwa rasnya lebih unggul
dari ras lain. Akan tetapi jalan pikiran semacam ini jika diikuti akan
mengulang tragedi kebiadaban yang pernah terjadi saat Reconquista di
Spanyol, di era kolonial, pada zaman Nazi di Jerman, dan sepanjang konflik di
Palestina, sehingga muncul istilah pembunuhan ras (genocide) dan
pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Kendati dianggap tabu, masalah ke bangsaan
dan keturunan mesti dibicarakan secara jujur dan jernih. Ini karena ia terkait
dengan persoalan kekuasaan dan dominasi politik, struktur dan hirarki, serta
sejarah panjang perjalanan manusia, terutama relasi dan interaksi antar
kelompok satu sama lain. Alasan kebangsaan dan keturunan acapkali dijadikan
pembenaran cara sistematis suatu kelompok untuk menguasai ranah kekuasaan,
peluang karir tertentu dan membatasi atau bahkan memutus sama sekali akses
kelompok lain. Jika sudah ada hirarki di antara mereka, maka ini akan
menentukan kelompok mana yang lebih berkuasa dan unggul dibanding kelompok
lain. Kelompok yang dominan lalu menganggap diri mereka berhak memperoleh
'jatah singa' dan menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan kelompok
lain dengan dukungan sejumlah lembaga dan seperangkat aturan hukum yang sengaja
dicipta demi menyangga dan melanggengkan sistem rasis tersebut.
Rasa kebangsaan yang tak terkendali tidak
hanya merasuki para penguasa dan politisi, akan tetapi juga para cendekiawan
dan akademisi. Sebut saja, misalnya, Joseph Arthur de Gobineau yang mengatakan
dalam bukunya (Essai sur l'inégalité des races humaines) bahwa semua
peradaban berasal dari ras kulit putih yaitu bangsa Arya. Atau pendapat
sejumlah sarjana orientalis yang melihat tasawwuf sebagi reaksi intelektual
bangsa Arya terhadap dominasi Semit yang dalam hal ini diwakili oleh bangsa
Arab dengan ajaran Islamnya. Tak terkecuali saintis Inggris Charles Darwin yang
pernah menyatakan bahwa bangsa-bangsa beradab bisa dipastikan bakal melenyapkan
dan menggantikan bangsa-bangsa biadab di seluruh dunia: : "… the
civilized races of man will almost certainly extermi nate and replace the
savage races throughout the world" (Lihat: The Descent of Man,
Appleton New York 1888, hlm. 159-60).
Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata sikap
dan perilaku rasisme telah mendapatkan justifikasi sejak zaman Yunani kuno.
Menurut Aristoteles, penduduk daerah dingin (Eropa) pada umumnya kurang trampil
dan kurang cerdas, sementara orang-orang Asia kurang mampu berpikir dan
bersaing sehingga mereka terus menerus dijajah dan diperbudak. Adalah 'kehen
dak alam', katanya, bahwa manusia tercipta berbeda-beda bentuk dan warna
kulitnya. Maka wajar saja bila sebagian manusia terlahir sebagai orang merdeka,
sementara sebagian yang lain terlahir untuk menjadi budak. Pembagian ini sudah
adil, ujarnya (Lihat: Aristotle, Politics, terj. Ernest
Barker, Oxford University Press, 1961, buku I/1, hlm. 3; VII/7, hlm.
296; dan I/5, hlm. 13-14).
Kita juga bisa membaca Herodotus yang menulis
bahwa orang-orang Ethiopia (kulit hitam) suka makan ular, kadal dan binatang
melata lainnya, tidak dapat berbicara layaknya manusia dan hanya mampu
mengeluarkan suara mengarut seperti bunyi kelelawar (Lihat The Greek
Historians, terj. George Rawlinson, Random House New York 1942, bab IV,
hlm. 188-291). Gabung an tiga hal, yaitu ciri-ciri fisik, mentalitas, dan
merasa paling hebat (superiority complex), sering yang dijadikan acuan oleh
sebagian ilmuan untuk membangun teori keunggulan ras dan menjustifikasi
berbagai penindasan dan peperangan.
Pengamat sosial Joe R. Feagin (dalam jurnal American
Sociological Review 1991, vol. 56, hlm. 101-16) melaporkan ternyata
orang-orang kulit hitam di Amerika hingga saat ini masih sering mengalami
pelecehan meski mereka sudah tergolong kelas menengah. Pelecehan itu bisa
berupa perlakuan diskriminasif di tempat kerja, sikap maupun pelayanan beda di
tempat perbelanjaan, hingga ucapan atau kata-kata yang menyiratkan penghinaan.
Perspektif Islam
Berbeda dengan kitab Perjanjian Lama
(Kejadian 9:18-25) yang secara tidak langsung mengesahkan rasisme, kitab suci Al-
Qur'an berusaha mengikis habis segala bentuk kezaliman berbasis ras. Bahwa
manusia diciptakan berbeda-beda rupa dan warna kulitnya, masing-masing mempunyai
bahasa dan budaya sendiri, semua itu adalah petanda dari Sang Pencipta untuk
direnungkan oleh mereka yang berilmu (Ar- Rum 22).
Kebhinnekaan ras, etnis, dan suku semestinya
mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, saling melindungi (Al-Hujurat
13), bekerjasama, tolong menolong dan bahu-membahu dalam meraih kebahagiaan dan
mengatasi masalah bersama (Al-Ma'idah 2). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan
oleh ras atau silsilah nenek-moyangnya, tetapi oleh volume ketaqwaannya (QS Al-Hujurat
13).
Tidak dibolehkan mengejek, melecehkan atau
menjatuhkan satu sama lain. Juga dihimbau agar jangan saling mencurigai dan
mencari-cari kesalahan atau kelemahan orang lain (QS Al-Hujurat 11-12). Ayat
terakhir ini meletakkan dasar anti pencemaran nama baik (defamation law).
Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan
baik kepada manusia, apapun ras nya, dan tidak boleh berbuat zalim, munkar,
keji serta melampaui batas (An-Nahl 90). Jangan sampai kebencian, prejudice
atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zalim (Al-Ma'idah
8).
Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan
yang dibenarkan (bi-ghayri haqq). Tidak dibenarkan membunuh orang yang
lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa,
dan orang yang sudah menyerah. Membunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri
nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (Al-Ma'iidah
32). Jangankan melakukan pembunuhan, sedang bersikap angkuh atau menganggap
diri super dengan jelas dikecam (Al-Isra' 38).
Satu-satunya alasan untuk merasa bangga yang dibenarkan ialah bila kita sungguh-sungguh beriman (Al 'Imran 139), tanpa memandang ras, keturunan, warna kulit atau bentuk rupa. "Berbuat baiklah pada kedua orangtua, keluarga dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat, musafir, dan hamba sahayamu, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri" (An-Nisa' 36). Simaklah sabda Kanjeng Nabi shallallahu alaihi wasallam: "Mereka [budak-budak itu] adalah saudara saudaramu (hum ikhwanukum) dan milik yang dititipkan Allah kepadamu. Maka siapa yang saudaranya dititipkan padanya, hendaklah ia memberinya makanan yang ia makan, pakaian yang ia pakai, dan janganlah membebani mereka dengan pekerjaan berat yang tak sanggup mereka lakukan. Kalaupun terpaksa menyuruh, maka bantulah mereka mengerjakannya" (HR Imam Muslim). Semoga rasa kebangsaan kita dipimpin oleh rasa keadilan.
Dr. Syamsuddin Arif - Direktur Eksekutif INSISTS
Komentar
Posting Komentar