PERINGKAT
INDONESIA DI KANCAH DUNIA : OUR WORK IS NOT FINISHED, WE STILL HAVE A BIG JOB
TO DO
dr.
Gamal Albinsaid
1.
Human
Development Report
Saya
akan mulai dari Human Development Report kita. Tanggal 21 Maret 2017 di
Stockholm, Swedia, UNDP PBB kembali mengeluarkan Human Development Report yang
meletakkan Indonesia di urutan 113, kita berada 2 tingkat dibawah Mesir dan 1
tingkat diatas Palestina. Kalau kita sedikit melihat ke balakang, tahun 2014
Human Development Report yang berjudul Sustaining Human Progress: Reducing
Vulnerabilities and Building Resilience meletakkan Indonesia diperingkat ke
108, hasil ini merupakan kemunduran bagi kita.
Untuk
menguatkan lagi optimisme kita semua, mari melihat 25 tahun perkembangan
Indonesia terakhir dari sisi Human Development Index (HDI). Pada tahun 1990 HDI
kita sebesar 0,528 dan di tahun 2015 HDI kita menjadi 0,689. Dengan demikian
dapat kita simpulkan HDI kita naik 30,5% dengan gambaran peningkatan untuk
masing-masing penilaian antara lain :
Expected
years of schooling atau yang biasa kita kenal dengan harapan lama bersekolah
untuk anak-anak meningkat 2,8 tahun. Mean years of schooling atau rata-rata
lama bersekolah yang sudah dijalani oleh orang berusia 25 tahun ke atas
meningkat 4,6 tahun. Life expectancy of birth atau angka harapan hidup di
Indonesia meningkat 5,8 tahun.
Gambar
3.1 Perkembangan Human Development Index Indonesia selama 25 tahun.
2.
Global
Competitvenes Index
Kabar
lain yang seharusnya membanggakan kita hadir pada laporan Global
Competitiveness index yang merupakan penilain tingkat kompetitif negara-negara
di dunia yang dilaporkan oleh World Economic Forum. Ditahun 2016-2017 berada di
peringkat 41 dari 148 negara. Posisi ini diperoleh setelah kita meraih nilai
4,52 dari sekala 7. Hasil ini agaknya baik secara umum, namun perlu dilakukan
evaluasi, dimana kita kembali mengalami penurunan dari tahun 2015 – 2016 yang
meletakkan kita di peringkat ke 37.
3.
Global
Innovation Index
Global
Innovation Index dikeluarkan pertama pada tahun 2007 dengan tujuan untuk menghasilkan
model inovasi yang komprehensif dalam menggambarkan kompleksitas alami pada
negara maju dan berkembang. Secara sederhana Global Innovation Index ini
menggambarkan kinerja inovasi dari berbaga negara. Jika kita merujuk pada
Global Innovation Index 2017 dengan tema “Innocation Feeding the World”, kita
bisa melihat bahwa Indonesia berada di urutan 99 dari 127 negara yang
dievaluasi dengan skor 29,1.
Gambar 3.1 Peringkat dan skor Global
Innovation Index
Hasil
ini masih tertinggal jauh dari negara-negara tetangga kita seperti Singapura
yang ada diurutan ke 7, Malaysia di urutan 37, Vietnam di urutan ke 47. Disisi
lain, Swiss, Swedia, Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris menduduki lima
urutan teratas. Swedia sendiri sudah berada di urutan pertama selama 7 tahun
terakhir. Empat indikator yang dikalkulasi adalah GII secara keseluruhan,
Sub-Index Input Inovasi, Sub-Index Output Inovasi, dan rasio efisiensi inovasi.
Sub-index input inovasi yang digunakan sebagai indikator terdiri dari 5 pondasi
yang menggambarkan elemen dari negara yang memungkinkan aktivitas inovasi,
yaitu institusi, sumber daya manusia dan penelitian, infrastruktur,
kemutakhiran pasar, dan kemutakhiran bisnis. Sedangkan untuk sub-index output
inovasi menyediakan informasi tentang output yang menghasilan aktivitas
inovatif dalam ekonomi yang terdiri dari output pengetahuan dan teknologi,
serta output kreatif. Yang terakhir adalah Rasio Efisiensi Inovasi adalah rasio
skor Sub-Indeks Output atas nilai Sub-Indeks Input yang menunjukkan berapa
banyak keluaran inovasi yang diberikan negara tertentu untuk mendapatkan
masukannya.
Hal
yang harus segera kita perbaiki adalah regulasi yang mendukung iklim
berinovasi. Sebagai gambaran dalam hal paten, kita berada di urutan 103 dari
127 negara. Hal ini menggambarkan betapa minimnya kontribusi inovasi kita pada
dunia. Hal lain yang perlu diperbaiki adalah anggaran untuk litabng dan riset
kita yang hanya 0,2% dari PDB. Oleh karena itu menjadi penting bagi Indonesia
untuk melakukan reformasi berbagai sistem, khususnya di sektor akademis dan
regulasi pemerintahan yang seharusnya memudahkan inovasi itu lahir, tumbuh, dan
berdampak.
4.
World
Happiness Report
Apakah
kita bahagia? Dalam World Happiness Report yang dikeluarkan oleh Sustainable
Development Solutions Network (SDSN)
pada Maret 2017 yang berasal dari data yang dikumpulkan sejak tahun 2014
hingga 2016, kita berada di urutan ke 81 dari 155 negara yang diukur. Peringkat
ini termasuk rendah jika dibandingkan dengan negara tentangga kita, yaitu
Singapura di peringkat 26 dan Thailand di peringkat 32. Hal-hal yang diukur
dalam menentukan kebahagaiaan antara lain PDB per kapita, harapan hidup sehat,
dukungan sosial, kebebasan menentukan pilhan, kemurahan hati, persepsi korupsi,
positive affect, dan negative affect. World Happiness Report ini dibuat untuk
membantu pemerintah, masyarakat, dan dunia bisnis dalam menemukan cara yang
lebih baik dan mencapai kesejahtaraan warganya.
Yang
menarik, kita perlu belajar dan melihat bagaimana Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss,
dan Finlandia menempati urutan teratas negara-negara yang bahagia. Norwegia
melompat dari urutan 4 ke urutan pertama setelah menggeser Denmark yang tahun
sebelumnya berada di puncak. Sebaliknya, Rwanda di peringkat 151, Suriah dengan
berbagai problematika hari ini ada di peringkat 152, lalu diikuti Tanzania,
Burundi, dan Republik Afrika Tengah.
Seorang
ekonom yang ikut menulis laporan ini, John Helliwell, menyatakan bahwa bahagia
tidak dapat disamakan dengan kakayaan. Unsur-unsur kemanusiaanlah yang menentukan.
Jika kekayaan mempersulit hubungan karena rendahnya rasa percaya antar manusia,
apa masih ada artinya? Materi justru dapat menghalangi kemanusiaan. Lalu apa
yang bisa kita pelajari dari Norwegia? Disana semua orang dapat uang pensiun di
usia 67 tahun, termasuk perempuan yang tidak bekerja. Warga Norwegia juga
membayar iuran maksimal sebesar US $300 per tahun untuk biaya kesehatan untuk
kemudian dapat kartu bebas dan tidak membayar lagi sepanjang tahun. Bahkan
temuan yang cukup menarik, iklim yang buruk disana itu membangun kebersamaan
yang kuat antar warga disana.
Menurut
Jeffrey Sachs, Direktur SDSN yang mempublikasikan daftar negara-negara paling
bahagia tersebut negara bahagia adalah yang memiliki keseimbangan kemakmuran,
kebiasaan yang terukur, modal sosial, tinggak kepercayaan yang tinggi di
masyarakat, ketimpangan yang rendah, dan kepercayaan kepada pemerintah.
Seberapa bahagiakan kita?
5.
Corruption
Perception Index
Corruption
Perception Index nomer 3 di ASEAN. Hal ini merupakana sebuah peningkatan jika
dibandingkan pada tahun 1999 kita berada di urutan paling bawah se-ASEAN. Namun
sekarang kita sudah melewati Filipina dan Thailand. Walaupun pemberitaan
penangkapan kasus – kasus korupsi kita senantiasa menjadi headline, namun
ternyata kita masih kalah dengan Singapura. Hal ini diperkirakan karena
organisasi sejenis KPK di Singapura telah didirikan sejak 1952, sedangkan di
Indonesia baru didirikan di tahun 2002.
6.
Ease
of Doing Business (EODB)
Kemudian
terkait Indeks Kemudahan Berusaha di tahun 2018 ini kita naik 19 peringkat dari
sebelumnya di peringkat 91 pada tahun 2017, menjadi peringkat 72 di tahun 2018.
Sedangkan di tahun 2017 kita juga mengalami peningkatan 15 peringkat dari 106
menjadi peringkat 91. Hal ini menunjukkan bahwa dalam 3 tahun terakhir,
Indonesia menjadi tempat yang lebih mudah untuk berusaha. Indikator EODB kita
yang mengalami peningkatan signifikan diantaranya adalah Resolving Insolvency
(Penyelesaian Kepailitan) dari posisi 74 di 2016 menjadi 38 di tahun 2018.
Enforcing Contracts (Penegakana Kontrak) dari posisi 171 di EODB 2016 menjadi
145 di tahun 2018, dan Getting Electricity (Penyambungan Listrik) dari posisi
61 di tahun 2016 menjadi 38 di tahun 2018.
7.
ICT
Development Index
Yang
tidak kalah penting adalah Indeks pembangunan Teknologi yang dikeluarkan oleh
International Telecommunication Union (ITU) yang berada di peringkat 111 dari
176 negara yang mengevaluasi 3 subindeks, yaitu akses dan infrastruktur,
penggunaan, dan keahlian. Kesenjangan perkembangan teknologi informasi di
antara wilayah barat dan timur Indonesia diprediksi menjadi salah satu penyebab
rendahnya posisi kita dan hanya berada di atas Kamboja, Timor Leste, dan
Myanmar untuk wilayah ASEAN.
Dengan
Human Development Index di peringkat 113, Global Compepetiveness Index di
peringkat 41, Global Innovation Index di peringkat 88, dan World Happiness
Index kita di peringkat 81, dan peringkat kita dengan berbagai indikator
diatas, agaknya kita tidak boleh berpuas diri. Tapi kita harus percaya diri dan
optimis… kita adalah bangsa yang besar… sumber daya kita melimpah…. Budaya kita
tangguh… kita bukan bangsa kecil… Kita harus lebih keras dalam bekerja…kita
butuh kerja-kerja cerdas, kerja-kerja keras… kita harus cepat untuk mampu
menerbangkan Indonesia menuju puncak dalam persaingan di kancah dunia. Saatnya
kita melompat jauh lebih tinggi. Our work is not finished, we still have a big
job to do…
Komentar
Posting Komentar