Penetrasi Barat di Asia Selatan di mulai dengan hancurnya Imperium Mughal.[1] Pergantian rezim tersebut menggerakkan beberapa kekuatan yang menimbulkan perubahan sejumlah praktik keagaman dan struktur sosio-politik ummat muslim di anak benua ini, dan pada ujung-ujungnya mengantarkan pada pembentukan tiga negara nasional, dua di antaranya didominasi mayoritas Muslim sedang satu negara lainnya ummat Islam pada posisi minoritas, yaitu Pakistan, Pakistan Timur (Banglades sekarang) dan India.[2]

Pemberontakan mutini yang dimulai abad 19 memalingkan aktivitas Muslim kepada beberapa tujuan baru. Pemberontakan mutini adalah awal dari letupan perlawanan terpendam terhadap akumulasi penghinaan pemerintahan Inggris. Pemberontakan mutini tidak hanya melibatkan tentara India yang bekerja pada British East India Company, tetapi juga melibatkan kelas atasan muslim dan hindu di India tengah dan utara.[3] Bagi kelas ini kerugian yang ditimbulkan pemerintahan Inggris semakin berat. Pihak Inggris terus-menerus mencablok wilayah penting di India dan mengancam keberadaan aristokrasi lama India, Hindu dan Muslim yang digantikan pejabat-pejabat Inggris.

Beberapa juga kebijakan Inggris yang menimbulkan pajak yang berat dan perampasan perkebunan. Satu hal yang sama pentingnya adalah adanya ancaman terhadap nilai-nilai kultural dan sosial India. Inggris memperkenalkan bahasa Inggris dan pendidikan barat. Pandangan Inggris terhadap poligami, perbudakan, dan kebebasan wanita; perlawan Inggris terhadap sistem kasta dan terhadap beberapa praktek agama Islam dan Hindu; campur tangan Inggris terhadap penerapan hukum muslim, dan akhirnya semakin gencarnya penyebaran agama kristen oleh para  misionaris. Semua ini menjadi penyebab pemberontakan ini yang mengancam martabat, pola kehidupan dan kepentingan politik dan ekonomi kalangan elit India.[4]

   Pada tahun 1905 Inggris membentuk dan membagi wilayah Bengal sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah provinsi bagian timur sebagai mayoritas penduduknya yang muslim, bahkan di bawah tekanan hindu, Inggris membatalkan pembagian ini pada tahun 1911.[5] Di mata ummat muslim, pembatalan ini sungguh-sungguh menjadi pelecehan kebijakan kolaborasi, dan melahirkan dugaan kuat bahwasanya pihak Inggris pada dasarnya memusuhi beberapa kepentingan muslim. Respon awal ummat muslim terhadap tantangan ini merupakan tindaklanjut dari pemberontakan Mutini.

Sayyid Ahmad Khan mengukuhkan kembali kebijakan kolaborasinya dan kebijakan penggunaan organisasi pendidikan sebagai ujung tombak kepentingan muslim, sebaliknya kalangan terdiri dari para pejabat, ahli-ahli hukum, jurnalis, dari kalangan muslim yang terdidik dan khususnya mereka yang kesulitan mendapatkan pekerjaan pemerintahan yang layak, menyangkal sikap pasif para pendahulunya. Meskipun para pendahulu yang menguasai tanah dan menguasa jabatan mengejar kebijakan yang menenangkan, generasi yang lebih muda menuntut peningkatan aksi politik yang bersipat secara langsung. [6]

   Pada tahun 1906 sebuah delegasi para pemuka muslim dari Alighar mengusulkan kepada pangeran Inggris untuk mengadakan sebuah wilayah pemilihan warga muslim secara terpisah, dan Raja Minto mengakui hak muslim sebagai perwakilan di pemerintahan ssesuai dengan proporsi dan partisipasi politik warga muslim. Menurut Inggris hal ini menjadi cara yang cukup meyakinkan untuk memenuhi tuntutan pihak muslim terhadap hak-hak politik, ini juga merupakan cara untuk mengukuhkan pembagian bangsa India menjadi kelompok muslim dan hindu dan menjadikan Inggris sebagai penengah bagi komunitas yang bermusuhan.[7]

 Ungkapan terpenting dari kalangan militansi baru adalah pendirian Liga Muslim India pada tahun 1906, dan mulai melancarkan jurnalisme politik. Pada tahun 1908 seorang jurnalis muda Kalam Azad, mengawali menerbitkan Al-Hilal yang menegaskan bahwasanya ummat muslim seluruh dunia merupakan ummat yang tunggal disebabkan kesamaan agama, dan bahwasanya Khilafah Utsmani sebagai pimpinan mereka.[8] 

Lebih jauh, merupakan tugas bagi ummat muslim untuk berjuang membangun pemerintahan sendiri di India dan membentuk sebuah landasan politik yang aktif untuk mendukung khilafah tersebut. Pada tahun 1909 Mahmud Al-Hasan mendirkan Jamiat Al-Anshar yang tujuan utamanya adalah menjalin persekutuan Turki, Iran, dan Afghanistan untuk mengusir Inggris dari India.[9]

Pada tahun 1912-1913 Maulana Abdul Bari dengan seorang sarjana dari Alighar mendirikan Anjuma-i Khuddam-i Ka’ba/Asosiasi Hamba Ka’bah, untuk menetang pemerintahan Inggris dan mempertahankan Imperium Utsmani. Selama masa perjalanan Muhammad Al-Hassan menjalankan ibadah haji ke Makkah, disana ia menghubungi tokoh-tokoh Utsmani dan berusaha menyebarluaskan cita-cita Khilafah pan-Islam.[10]

  Pada tahun-tahun tersebut tidak hanya ditandai dengan perubahan dari passivitas menjadi oposisi politik yang aktif, tetapi juga ditandai dengan perubahan aktivitas politik elit kepada pendidikan menjadi upaya-upaya menggalang dukungan massa muslim dan upaya mengatasi ketercerai-beraian massa muslim India menjadi sebuah badan politik dan komunal. Alasan perubahan krusial tersebut adalah untuk melindungi ummat muslim dan mendukung perjuangan muslim terlepas dari dominasi warga hindu.

   Meskipun demikian seluruh konsep tentang sebuah masyarakat muslim di India merupakan landasan yang sangat lemah. Kepentingan Inggris di atas kepentingan muslim masih lebih kuat. Pihah Inggris menginginkan ikatan agama dan kebebasan menjalankan agama sebagai sebuah prinsip pokok tentang sebuah masyarakat liberal, dan memerlukan kembali identitas kolektif kelompok-kelompok keagamaan dengan memberi mereka hak untuk mengajukan dan memilih perwakilan mereka sendiri. Inggris mengidentifikasi muslim sebagai sebuah komunitas agama, kemudian mereka menyediakan sarana politik untuk merumuskan identitas tersebut menjadi aksi kelompok secara terpadu.

 Di kalangan muslim, konsep tentang sebuah masyarakat muslim India bersandar pada rasa solidaritas politik dan komunal yang melekat pada diri setiap muslim. Meskipun demikian, problem pembentukan sebuah identitas masa muslim adalah menjadi pekerjaan yang sangat besar. Secara kultur, kesatuan elit muslim terbagi menjadi sebuah keluarga lokal, pemukiman atau sekmen faksional dan benar-benar tidak bersatu untuk tujuan politik.

   Pada awal abad XX pembentukan asosiasi pendidikan dan pertahanan muslim, dan meningkatnya perdebatan publik menyumbang makna nasional bagi beberapa peristiwa lokal. Masjid Kanfur tahun 1913 menjadi simbol pertama bagi politik nasional muslim. Pihak Inggris berencana mengganti sarana Masjid dalam rangka membangun sebuah jalan baru. Pada saat yang lain peristiwa seperti ini sama sekali tidak menimbulkan dampak, tetapi sekarang hal seperti ini dipandang sebagai ancaman bagi keamanan masjid, hampir sama sebagai ancaman terhadap Islam.[11] 

Penodaan masjid telah mengkristalkan duka, dan perasaan kalah ummat muslim. Beberapa komite lokal di bentuk untuk mempertahankan masjid tersebut. Perjuangan untuk mempertahankan masjid menjadi pengharaman terhadap pemerintah, simbol-simbol keagamaan sebagai sarana dasar untuk mengartikulasikan identitas muslim, dan mengkristalkan kesadaran muslim India dalam skala yang lebih luas.

  Pemberontakan Karfur dilanjutkan dengan pemberontakan muslim di Calcutta pada tahun 1918, di Bombay tahun 1929, dan terjadi lagi di Kanfur pada tahun 1931.[12] Sejumlah gejolak ini menunjukkan bahwasanya identitas muslim telah terbentuk di dalam pikiran masyarakat umum perkotaan, bahkan identitas simbolik ini melampaui struktur politik yang ada untuk mengorganisir dan mengartikulasikan berbagai kepentingan Muslim. Dalam beberapa insiden tersebut beberapa kepemimpinan lokal terpecah. Sehingga tidak mampu mengarahkan atau mengendalikan perasaan masyarakat umum. Simbol-simbol muslim mampu mencetuskan sejumlah demonstrasi dalam skala besar.

       Pendekatan yang rapat terhadap aksi politik massa datang dari gerakan khilafah. Pada tahun 1919 Ghandi dan Kongres Nasional India melancarkan kampanye pertama mengenai sikap bekerja sama demi menegakkan pemerintahan dan kemerdekaan India, para pemuka muslim membentuk dua asosiasi baru dengan tujuan yang sama. Muhammad Ali mendirikan Konfrensi Khilafah untuk menekankan pemulihan imperium Utsmani, dan Ulama Farangi Mahall dan Ulama Deoband mendirikan Jami’at Al-Ulama-i Hindi untuk memperjuangkan kepentingan keagamaan muslim dan untuk memulihkan kembali Khilafah.[13] Tetapi demi keberhasilan sebuah gerakan internasional, pertama-tama perlu menggunakan simbol-simbol pan-Islam untuk menjadikan muslim India menyadari mereka sebagai sebuah bangsa.

   Strategi utama gerakan khilafah adalah menggalang persekutuan dengan kongres untuk bekerja sama dalam menggulingkan pemerintahan Inggris dan meraih kemerdekaan politik bagi India. Di bawah kepemimpinan Ghandi, partai kongres bekerja sama dengan gerakan Khilafah, ummat Muslim mengikrarkan diri bersikap kooperatif.[14] Untuk pertama kalinya ummat Hindu dan Ummat Muslim terlibat dalam sebuah gerakan yang berlandaskan kepentingan nasional untuk memaksa Inggris mengembalikan India ke tangan bangsa India.

    Gerakan kerja sama ini segera berakhir. Beberapa kelompok Muslim bersebarangan. Sebagian Muslim tetap bersikap kooperatif. Sebagian muslim lainnya mencurahkan perhatian mereka pada upaya memindahkan massa Muslim ke Afghanistan untuk menyusun basis jihad melawan pemerintahan Inggris. Kemudian pada tahun 1923 dan 1924, negara Turki yang merdeka menghapuskan sistem kesultanan dan Khilafah. Pada saat yang sama, dibentuklah persekutuan dengan partai kongres. Hancurnya otoritas Ghandi dan pembagian liberal-konservatif di dalam partai kongres memperlunak komitmennya menjadi sebuah gerakan kerjasama muslim-hindu. Ekstrimis Hindu dan muslim mengembalikan kembali antagonisme laten antara dua komunitas tersebut, dan berkobarlah pemberontakan komunal. Pada tahun 1924, berakhirlah gerakan kooperatif, gerakan khilafah, dan kolaborasi muslim-hindu.

 Dengan hancurnya khilafah, tuntutan politik kelompok saparatis muslim bangkit kembali. Pada tahun 1924 liga muslim menyerukan perlindungan hak keagamaan dan hak-hak sipil penduduk muslim, dan otonomi dan keuangan politik di Bengal, Punjab, dan provinsi perbatasan wilayah Barat Laut. Sebagai responnya, Nehru tahun 1928 mendukung sebuah negara kesatuan India tanpa wilayah pemilihan yang terpisah dan tanpa provinsi mayoritas penduduk muslim, meskipun pidato tersebut menegaskan bahwasanya ummat muslim diberikan hak di perwakilan sesuai dengan proporsis jumlah warganya.

Pihak Muslim semakin yakin atas kecemasannya ditengah dominasi warga Hindu. Muhammad Ali Jinnah, yang berbicara atas nama liga muslim pada tahun 1929, menegaskan kembali tuntutan terhadap sebuah negara federal India, dengan provinsi muslim yang otonom, wilayah pemilihan yang terpisah, dan perlindungan terhadap warga muslim di bidang hukum, pendidikan dan agama.[15] 

Konfernsi muslim-hindu pada awal tahun 1930-an tidak mampu menjembatani jurang perpecahan ini. Pihak Inggris berusaha menemukan langkah kompromi, pidato Simon tahun 1930 mendukung sebuah pemerintahan federal bagi India, kertas putih tahun 1932 menegaskan wilayah pemilihan ulang terpisah tetapi mencabut parlementer mayoritas muslim di Bengal dan Punjab, dan perundangan pemerintahan India tahun 1935 yang memberikan jaminan Inggris terhadap hak-hak minoritas.[16]

Tetapi memperbesar monopoli yang menguntungkan pihak mayoritas Hindu, semuanya ditolak lantaran tidak sepadan dengan tuntutan sepihak atau pihak lain dan lantaran hal tersebut tidak bisa dibenarkan karena rancangan tersebut memperkokoh kelangsungan pemerintahan Inggris di India. Sebagian besar kalangan muslim dan hindu tidak pernah sepakat, namun mereka tidak lagi menghendaki kelangsungan pemerintahan Inggris sebagai solusi atas konflik mereka.

    Pemilihan umum tahun 1937 menandai dari peralihan tuntutan muslim terhadap wilayah pemilihan yang terpisah dan jaminan konstitusi kepada tuntutan kebangsaan teritorial yang terpisah. Pemilihan umum ini merupakan kekalahan liga muslim. Setelah pemilihan, partai kongres menolak untuk membagi kementerian dan kekuasaan pemerintah dengan politisi liga muslim. Ghandi dan Nehru juga berusaha menyerukan secara langsung kepada masa muslim mengenai pergantian pemimpin politisi liga. Mereka yakin kepentingan kelas lebih kuat dari pada ikatan komunal. Meskipun partai kongres semata-mata memperkuat kecemasan muslim dari dominasi hindu, dan membangkitkan dukungan muslim terhadap liga. Pada tahun 1938, untuk merebut kembali liga muslim, Jinnah menyampaikan teori “dua bangsa” dan secara resmi menyampaikan tuntutan sebuah tanah air muslim yang terpisah. Dalam resolusi tahun 1940 liga muslim menyerukan pembentukan negara Pakistan.[17]

 



[1] M. Lapidus, Ira. 1999. Sejarah Sosial Ummat Islam. PT Raja Grafindo Persada:

Jakarta. hlm 261.

[2] Ira. M. Lapidus, hlm 261

[3] Ira. M. Lapidus, hlm 268

[4] Ira. M. Lapidus, hlm 269

[5] Ira. M. Lapidus, hlm 275

[6] Ira. M. Lapidus, hlm 281

[7] Ira. M. Lapidus, hlm 282

[8] Ira. M. Lapidus, hlm 282

[9] Ira. M. Lapidus, hlm 284

[10] Ira. M. Lapidus, hlm 284

[11] Ira. M. Lapidus, hlm 287

[12] Ira. M. Lapidus, hlm 287

[13] Ira. M. Lapidus, hlm 287-288

[14] Ira. M. Lapidus, hlm 288

[15] Ira. M. Lapidus, hlm 290

[16]Ira. M. Lapidus, hlm 291

[17] Ira. M. Lapidus, hlm 291

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini