Setelah
keputusan Utsmani yang ikut berperang pada perang dunia I dan yang bergabung
dengan Jerman dan Austria telah membuka kesempatan dan menjadi alasan bagi
Francis dan Inggris menanamkan pengaruhnya di wilayah Arab Timur Tengah, hingga
akhirnya memunculkan perjanjian Sykes-Picot (1916), yang mengkotak-kotakkan
negari-negeri Arab Timur Tengah dibawah pengaruh mereka. Francis kebagian
pengaruh di wilayah Libanon, bagian barat laut Turki, Syiria Utara, dan Irak
Utara, sedangkan Inggris kebagian Irak, Arabia yang berbatasan dengan Teluk
Persia, dan TransJordan. Palestian di tujukan menjadi Rezim Internasional.[1]
Para pemuka
Arab pada umumnya menginginkan dan menghendaki keberlangsungan Imperium Utsmani
dan Condominium (pemerintah bersama) Arab-Turki, dan upaya
lainnya menuju desentralisasi dan persamaan kedudukan bangsa Arab dengan bangsa
Turki. Namun ide pembentukan negara Arab datang dari Makkah yang di propaganda
oleh Inggrir dan Francis demi melindungi kepentingannya di Timur Tengah, dengan
memecah-belah Imperium Utsmani. Inggris dan Francis akan semakin mudah
menanamkan pengaruhnya di wilayah Timur Tengah. Seperti pada tahun 1917,
deklarasi Balfaour menyatakan bahwa Inggris menyokong pembentukan tanah air
Nasional Yahudi di Palestina, kalau seandainya Imperium Utsmani terbentuk
dengan Condominium (pemerintah bersama) Arab-Turki, maka ide
untuk mewujudkan tanah air nasional Yahudi di Palestina akan mengalami hambatan
dan mungkin saja mustahil terwujud. Sehingga pada 1915, Inggris menghasut dan
menipu Syarif Husain Makkah, yang dimulai dengan mengadakan perjanjian rahasia
antara kedua belah pihak yang bertujuan membentuk negara Arab, dan Syarif
Husien Makkah berharap dapat menjadi raja bagi semua Bangsa Arab dan terlepas
dari Imperium Utsmani. Inggris mendorong dan membantu Syarif Husein Makkah
untuk mendirikan negara Arab yang ditentang oleh pemuka Arab dan Utsmani.
Keinginan
bangsa Arab untuk mendirikan sebuah negara merdeka digagalkan oleh kekuatan
Eropa. Pihak Inggris tidak sepenuhnya bersekutu dengan Syarif Husain. Melalui
kesepakatan Sykes-Picot bersama pihak Francis (1916), mereka berjanji membagi
wilayah Arab Timur Tengah mejadi dua wilayah di bawah pengaruh pemerintahan
kolonial. Pada tahun 1917 mereka berjanji mendirikan tanah Nasional bagi bangsa
Yahudi di Palestina. Namun Syarif Husain memprotes keras hal ini, hingga pada
akhirnya Syarif Husein di usir dari Damaskus dan Inggris dan Francis
membagi-bagi Arab Timur Tengah, sesuai dengan perjanjian mereka semula.
Demikianlah
upaya propaganda Inggris dan Francis ingin memerdekakan Arab Timur Tengah dari
Utsmani, tetapi mereka menyimpan dan melakukan upaya mereka agar tujuan
startegis mereka tetap tercapai. Akhirnya terbentuklah negara-negara Arab
yang telah dirancang oleh Inggris dan Francis, memberi batas-batas wilayah,
mewariskan kepada Bangsa Arab dilema masa depan, yakni sebuah wilayah kultural
yang terpecah-pecah menjadi sejumlah negara kecil.
Dari
pengkotak-kotaan Bangsa Arab oleh Barat, maka semangat pembebasan semenanjung
Arab muncul kembali, awalnya dimulai dengan gerakan muwahhidun (gerakan
pemurnian tauhid) yang pertama sekali dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab.[2] Pada tahun 1914 Pantai Timur di Teluk
Persia di kuasai oleh Ibnu Su’ud. Tahun 1916 Inggris memberikan persenjataan
kepada Husein, Syarif Makkah yang akan bersekutu dengan Inggris.[3] Kemudian Hussein dimaklumkan diri
sebagai Raja Arab. Pada tahun 1924, Hussein dimaklumkan sebagai khalifah.[4] Karena itu Ibnu Su’ud tidak senang
dengan hal itu, kemudian ibnu su’ud menggerakkan pasukannya untuk mengakhiri
kekuasaan Hussein. Pada tahun 1932 ia berhasil mendirikan kerajaan Saudi Arabia
yang wilayahnya yang terbentang dari teluk persia hingga laut merah.
Negara-negara di teluk baru tahun 1960 merdeka dari proteksi Inggris.[5]
Palestina
merupakan satu-satunya negeri di wilayah Arab yang tidak menjadi negara, negeri
ini tehalang oleh dukungan Inggris terhadap gerakan Zionis dan pembentukan
negara Israel. Semula Inggris melibatkan diri pada kepentingan Yahudi, membiarkan
imigrasi dan perampasan tanah, membentengi Yahudi dari serangkaian pemberontak
Palestina, dan mengesahkan organisasi lembaga komunitas Yahudi dan membentuk
angkatan bersenjata Yahudi.
Di bawah
pemerintahan Inggris, perkembangan Yahudi di Palestina berkembang pesat. Pada
tahun 1939 terdapat hampir setengah juta yang tersebar dalam 250 perkampungan.[6] Warga Yahudi juga diorganisir secara
baik melalui organisasi Zionis, Agen-Agen Yahudi, lembaga perwakilan, beberapa
partai politik Yahudi dan melaui sebuah gerakan buruh Yahudi. Pergerakan Bangsa
Arab Palestina tumbuh sebagai gerakan Oposisi terhadap pendudukan Palestina
oleh Inggris dan Yahudi. Pada tahun 1920 sebagian besar warga
palestina adalah kaum petani, kelas menengah bangsa palestina yang doktor, ahli
hukum, jurnalis dan pejabat pemerintahan sangat sedikit sekali. Komunitas
Bangsa Arab terpecah karena klan, oleh jurang pemisah yang sangat tajam.
Gerakan Bangsa
Arab Palestina pada tahun-tahun pertama diliputi oleh ketegangan antara
pihak Muslim dan Kristen. Namun pada tahun 1930 terbentuklah kelompok-kelompok
pemuda Muslim yang menyerukan perlawanan terhadap Imprialisme Inggris dan Francis
yang dipimpin oleh Syeikh Izzudin Al-Qossam dan mengorganisir Perkumpulan
Pemuda Muslim Haifa.
Ia
mengorganisir perlawanan bersenjata yang kepada mereka ia menyerukan sebuah
reformasi Islam, menentang keras praktek mabuk-mabukan, perjudian, dan
prostitusi. Ia juga menentang praktek agama yang berkembang umum seperti
meratap dan meminta berkah ke makam. Tokoh aksi militan dan sekaligus tokoh
keteguhan diri, yakni Al-Qassam menebarkan semangat jihad.
Ia adalah orang
yang sangat populis, aktivis pergerakan Islam yang memusatkan seruannya untuk
mengamankan kota suci Yerussalem. Konsep jihad digunakan untuk
membangkitkan semangat masyarakat untuk menentang penjajahan dan pendudukan
Inggris dan Yahudi. Pada tahun 1960-an ketika ikatan faksional dan ikatan
kekeluargaan menjadi sangat besar pengaruhnya, dan sebelum simbol-simbol
identitas etnis nasional tersebar luas, hanya simbol-simbol Muslim yang mampu
memobilisir massa Palestina. Hingga saat ini kita masih bisa melihat dan
menyaksikan penjajahan dan pendudukan bangsa Yahudi dan perjuangan kaum Muslim
dan Al-Qassam di Palestina.
[1] Ira M. Lapidus, hlm 73
[2] Ali Sadiqin. Sejarah Peradaban
Islam. Yogyakarta: Lesfi: 2002. hlm. 304
[3] Ibid. hlm. 305
[4] Ibid. hlm. 305
[5] Ibid. hlm. 304
[6] Ira M. Lapidus hlm. 170
Komentar
Posting Komentar