PENCURI YANG
TERBUNUH...
Malik ibn Dinar adalah seorang periwayat hadis dari
generasi tabi’in. Ia orang miskin dan sangat miskin. Tidak ada barang berharga
di rumahnya. Jelas, jika ada pencuri memasuki rumahnya, itu adalah keputusan
yang sangat salah. Seperti pencuri yang satu ini, saya nukilkan kisah Malik dan
si pencuri dari buku Qashash Min Siyar al-Musytaq Al-Jannah (Kisah Para Perindu
Surga) karya Muhammad Ibn Hamid Abdul Wahhab.
Suatu malam, pencuri itu memasuki rumah Malik ibn
Dinar. Ia mencari-cari barangkali ada barang berharga yang bisa dicuri. Semua
ruangan dimasuki. Malik Ibn Dinar yang saat itu sedang mengerjakan shalat di
kamarnya tahu jika ada yang masuk ke rumahnya.
Ia tetap mengerjakan shalat, tidak khawatir sama
sekali dengan kedatangan si pencuri. Ia yakin jika pencuri itu tidak akan
menemukan apa pun yang bisa dibawa. Sebab, dirinya hanya orang miskin yang
tidak punya apa-apa. Sampai kemudian si pencuri masuk ke kamar tempat Malik
mengerjakan shalat, dan secara kebetulan Malik baru selesai mengerjakan shalat.
Si Pencuri terkejut, Ternyata rumah ini ada penghuninya. Keduanya bertatapan,
Malik mengucapkan salam kepada pencuri, sementara si pencuri hanya terpaku.
“Saudaraku,” kata Malik. “Kau sudah memasuki rumahku tapi tidak menemukan
apa-apa dan aku tidak akan membiarkanmu keluar dari rumahku tanpa membawa
apa-apa.” Si pencuri masih terpaku.
Malik berdiri lalu ke belakang mengambil air dan menyodorkannya kepada si
pencuri. “Berwudulah dengan air ini,” kata Malik, “Lalu kerjakanlah salat dua
rakaat. Kau akan keluar dari rumah ini dengan membawa kebaikan.” “Baik, Tuan,”
kata Si Pencuri. Ia seperti terhipnotis, menuruti semua perintah Malik. Setelah
selesai mengerjakan shalat, Si Pencuri mendekati Malik. “Tuan! Bolehkah aku
menambah dua rakaat lagi?” “Silakan kerjakan semampumu,” jawab Malik.
Si Pencuri tampak menikmati shalat malam itu,
sampai-sampai ia tidak hanya menambah dua rakaat, tapi terus mengerjakan shalat
sampai waktu subuh tiba. “Sekarang sudah saatnya kau pulang dari sini,” kata
Malik. “Kau akan pergi dengan membawa hidayah.”
Tapi si pencuri berkata, “Jika Tuan mengizinkan, aku ingin tinggal di sini
untuk sehari ini. Aku sudah berniat berpuasa.” Malik pun mengizinkan. “Silakan,
jika kau memang menghendaki.” Saat hendak pergi, si pencuri berkata kepada
Malik, “Aku ingin bertobat.” “Biar itu menjadi urusanmu dengan Allah,” kata
Malik.
Pencuri itu berlalu. Sampai kemudian ia bertemu
dengan temannya sesama pencuri. “Aku pikir kau membawa banyak hasil curian,”
kata temannya itu. “Kemarin aku berniat mencuri di rumah seseorang bernama
Malik Ibn Dinar,” kata Si Pencuri. “Tapi dia ternyata orang miskin yang tak
punya apa-apa, justru dia yang mencuri apa yang kumiliki selama ini.”
Kita telah memasuki Ramadan. Sering kita dengar ia
disebut ‘Bulan Suci’. Penyebutan seperti itu kerap diterjemahkan dengan aksi
sapu-bersih tempat-tempat yang dianggap menjalankan kemaksiatan. Tempat-tempat
hiburan diminta ditutup agar tidak menodai kesucian bulan itu.
Apakah seperti itu? Tidak, tentu saja.
Kesucian ada di setiap hati kita, bukan di suatu
tempat atau pada waktu tertentu. Benih-benih kebaikan dan keburukan tertanam di
setiap hati kita. Begitulah fitrah manusia. Selanjutnya hanya perlu kesungguhan
dengan dukungan keadaan saja bagi masing-masing benih itu untuk tumbuh.
Puasa yang kita laksanakan selama Ramadan ini
adalah keadaan yang mendukung untuk menumbuhkan benih-benih kebaikan di hati,
menjadi batang, bercabang, bunga-bunganya mekar dalam perilaku: kearifan, kasih
sayang, cinta, kesabaran, kepedulian, disiplin, dan sifat-sifat lainnya yang
selama ini mungkin tak terawat. Itulah yang semestinya kita petik dari puasa,
lalu kita jaga sebaik mungkin.
Setelah semua itu, bukan bulan yang berhak mendapat
label suci, melainkan kita. Tidak ada yang disebut ‘bulan suci’, tapi yang ada
adalah ‘diri yang suci’. Kita telah memasuki Ramadan. Jangan sampai nanti kita
keluar darinya tanpa membawa pengaruh apa-apa. Sia-sia....
Komentar
Posting Komentar