Malam itu malam purnama, anak-anak di “banjar” itu berkumpul. Keluarlah seoarang anak laki-laki dari rumahnya menyusuri tanggga rumah panggung yang “bertaruma” itu. “ulang ko lambat-lambat i torui ucok, ro naron si gotap ului” ibunya memberikan nasehat dengan Bahasa Mandailing. “Olo umaak” Aswin menjawab. Aswin dengan melilitkan kain sarung di lehernya segera bergegas menemui temannya yang telah berkumpul setelah shalat isya, di dekat tiang listrik, di tepi jalan di dekat rumahnya.

“Asi maralama?” Bincar bertanya ditengah kumpulan temannya-temannya. “asi-asi..” teman-temannya bersahut-sahutan. Setelah bersepakat, sekumpulan anak kecil itu memulai permainan yang di kenal dikampung mereka dengan nama “maralama”. “pong mita jolo” Imcar mengajak teman-temannya ompimpa. Setelah ompimpa selesai, maka ada tinggal dua orang yang tersisa, setelah itu mereka mengundi lagi. “pis kamu” Aswin menyuruh temannya untuk menentukan “sipanjago tiang”. Rupanya yang terpilih sebagai “panjago tiang” adalah si Bincar.

Maka dimulai lah permainan “maralama” itu. Si Bincar segera memalingkan wajahnya ke tiang listrik, sambil menutup mata dan berkata; “alama....”. teman-temannya sambil berlari ingin bersembunyi berteriak “indo”. “alama” “indo”, “alama”, “indo” mereka sambil berbalas-balasan berteriak menandakan permainan akan dimulai. Kemudian si Bincar berteriak lagi “alamaaaa”, ternyata bunyi teriakan temannya tidak terdengar lagi. Ini menandakan si Bincar harus mencari temannya. Setelah dicari, akhirnya Aswin ketemu di balik “bungo bongsa” di depan rumah abang ganteng. Si Bincar langsung berlari ke arah tiang listrik dan menggapainya sambil berteriak “preeenciiis”.

Tanpa diketahui, dua temannya yang lain juga telah sampai ketempat tiang listrik sebagai pusat permainan. Maka tinggal si Imcar yang belum ketemu. Si Bincar terus mencari, dan belum ketemu juga. Karena sudah sangat lama mencari, si Bincar mengajak temannya yang lain untuk sama-sama mencari Imcar agar permainan baru bisa di mulai lagi. Tapi ternyata Imcar tidak bisa ditemukan. “ah tujia dia dongani, ampot na i tangkup ci gotap ului do ia?” Aswin bertanya dengan nada sedikit takut. Setelah lama, ternyata Imcar belum ketemu juga, dan pintu rumah Imcar terdengar terbuka, “reeeek” suara pintu kayu itu berbunyi. Mereka penasaran, jangan-jangan yang keluar dari rumah itu adalah Imcar. Bukannya Imcar yang keluar, ternyata itu adalah Ani kakaknya si Imcar mau pergi ke “pancur”. “mangua damu daganaki”, ani bertanya kepada kumpulan anak-anak itu. “malalama kak” Aswin dan teman-temannya itu sama-sama menjawab. “oni aso ngamonjap?” Ani bertanya lagi. “imcal ngape dapot” mereka menjawab. “dot dia langa, tai ma modom mia ibagas” Ani menjawab dengan sedikit heran. “aaaaah naakali” si Bincar menjawab. “anggo soni antak mita” Aswin dan temannya memberi saran. Akhirnya mereka pulang kerumah masing-masing, dan juga si Bincar berpaling ke arah rumahnya sambil “munduk dot maribo-ibo”.

Besok harinya ketika malam sudah tiba dan isya dah selesai, si Binjar segera mengakhiri makan malamnya dan keluar rumah, dan bergegas menuju rumah si Aswin dan si Imcar untuk mengajak mereka bermain “alama” lagi, seketika Aswin dan si Imcar menyambutnya dengan gembira. Si Bincar berkata dalam hati, “anggo si imcal nalon panjago tiang, u balas dot cono na ibaen nia i.

Ternyata benar, akhirnya giliran Imcar-lah yang menjadi penjaga tiang,... “alama...indo... alama... indo... alama... indo....” mereka saling bersahut-sahutan. Si Bincar segera berlari dan masuk ke dalam rumahnya dengan pelan-pelan sambil menjinjit kakinya, dan membuka pintu pelan-pelan, agar tidak terdengar oleh ibu, segera dia pergi ke kamarnya dan “manarik ulos”.

Teriakan Imcar terdengar keras.... “alamaaaaaaa....” dan tidak ada sahutan “indo” dari teman-temannya, yang menandakan permainan segera dimulai dan Imcar harus mencari teman-temannya. Setelah sekian lama mencari, si Bincar belum juga ketemu. Si Imcar, Aswin dan teman-temannya mencari si Bincar. Akhirnya merekapun menemukan ide, Aswin berkata “antak namodom buse do bincal ibagas nalaian, ngalolo ia uida”.

Si Imcar melihat Aswin yang lagi berbicara, dengan mimik yang agak yakin bahwa hal itu dilakukan oleh si Bincar, karena dia menyadari kemaren dia merasa melakukan itu. Akhirnya mereka memberanikan diri pergi kerumahnya si Bincar, karena sekitar 45 menit mereka mencari belum juga ketemu.” Tok..tok..tok...” “ompung..ooo...ompung”. Ibunya si Bincar keluar dengan wajah agak kusut karena sudah pengen tidur karena lelah pulang dari sawah. “ijia langan si Bincar ompung?” Aswin bertanya ke ibunya si Bincar. “bee, bukan na rap marmayam damu nangkin”. Mendengar percakapan itu, si Bincar lantas pindah dari tempat tidur ke “toru podoman”, karena dia sadar ibunya akan mencarinya ke kamar. Benar ibunya segera beranjak dari pintu. Akhirnya si Bincar tidak ditemukan oleh ibunya. Aswin dan Imcar beserta teman-temannya pulang dengan wajah bertanya-tanya...Aswin berkata “ampot na itangkup ci gotap ului do ia” sambil menampilkan wajah yang menakut-nakuti si Imcar dan teman-temannya. Aswin langsung berlari kerumah dengan cepat. Karena ketakutan Imcar berteriak “...ayaaaaaaaaaah.....” sambil nangis dan berlari tidak karuan menuju rumahnya. Karena takutnya, Imcar menabrak pintu rumahnya sendiri, “dooooaaaar”. Suaranya terdengar sampai kerumah Aswin dan si Bincar. Di “toru podoman” si Bincar akhirnya tertawa-tawa dan terdengarlah oleh ibunya. Akhirnya ibunya menasehatinya untuk tidak boleh curang.

Dalam jangka seminggu mereka tidak bermain “alama” lagi karena saling takut dicurangi. Minggu berikutnya mereka membuat kesepakatan, untuk tidak boleh saling curang. Dengan gaya yang berwibawa, Aswin berkata dengan Bahasa Indonesia “kita tidak boleh mengakal-akali dongan kita, karena mengakal-akali dongan kita itu, kita juga dohot marugi”. Akhirnya mereka saling senyum dan tertawa dan akrab kembali.

NB: Beautiful Mind

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini